SURABAYA, SURYA--DI lingkungan dekatnya, pria kelahiran 12 November 1966 ini biasa dipanggil SHW. Itulah singkatan nama lengkap pria asal Semarang, Jawa Tengah (Jateng), tersebut : Sigit Haryo Wibisono, yang sejak beberapa bulan lalu terjun ke bisnis media massa dengan membeli Harian Merdeka. Kini nama SHW menghiasi media massa karena ditangkap dalam kasus dugaan penembakan Direktur Putra Rajawali Banjara (PRB), Nasrudin Zulkarnain.
Sebelumnya, namanya mulai mencuat ke permukaan setelah masuk dalam kepengurusan DPP PKB di bawah Ketua Umum Dewan Syura, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Ketua Umum Dewan Tanfidz, Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Pada Juli 2007, namanya diketahui publik sebagai anggota Dewan Surya DPP PKB. Setelah itu, tatkala konflik PKB semakin meruyak –-antara kubu Cak Imin dengan kubu putrid Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid— SHW juga masuk pusaran konflik tersebut.
Diduga karena punya hubungan sangat dekat dengan Yenny, SHW pun sempat didhapuk menjadi wakil ketua caretaker DPW PKB Jatim.
Keberadaanya dalam kepengurusan PKB mengundang protes banyak orang di internal PKB. Karena, sebagai orang baru, tahu-tahu dia bisa masuk sebagai anggota dewan syuro DPP PKB. Apalagi, kala itu juga beredar isu bahwa SHW masih menjabat sebagai wakil ketua DPD Partai Golkar Jateng.
Belakangan muncul kabar bahwa SHW telah mundur dari Golkar. Kemudian, sesudah keberadaannya di PKB semakin memunculkan kontroversi, SHW pun mundur dari kepengurusan DPP PKB.
Sebagian elite PKB, khususnya yang masuk kubu Imin, menilai SHW merusak PKB sekaligus mengacaukan hubungan baik Imin dengan Gus Dur sebagai keponakan dan paman. Apalagi belakangan muncul pemecatan sejumlah pengurus pro-Imin –seperti Wakil Sekjen DPP PKB, Erman Suparman dan Hanif Dakhiri— dan berpuncak dengan pemecatan sepihak Imin dari posisi ketua umum DPP PKB.
Meski nama SHW baru menyedot perhatian publik tahun 2007-an --sesudah bergabung dengan PKB-- namun tak berarti sebelumnya pria yang berpostur agak gemuk ini “bukan apa-apa”. Sudah sejak sekitar 1999, atau kira-kira 10 tahun silam, di kalangan tertentu di Jakarta nama Sigit sangat berpengaruh.
Dia, misalnya, pernah punya kantor semacam “think tank misterius” di kawasan Jalan Kerinci, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Misterius, karena tanpa papan nama, dan dijaga beberapa pria berpenampilan sangar. Meski begitu, sejumlah nama penting sering tampak berada di sana, antara lain Mayjen Pur TNI Muchdi Purwoprandjono, mantan danjen Kopassus.
Kala itu juga santer kabar bahwa di belakang “Kelompok Kerinci” ada nama Tyasno Sudarto, yang belakangan menjadi kepala staf angkatan darat (KSAD), dan akhirnya pensiun dengan pangkat purnawirawan jenderal. Kedekatan hubungan SHW dengan Tyasno, lantaran ayah SHW pernah menjadi pejabat teras di Kodam IV Diponegoro Jateng, kala Tyasno menjadi Pangdam IV Diponegoro.
Waktu itu, di “Kelompok Kerinci” juga terdapat nama MT Arifin, akademisi asal Solo, Jateng. Ketika Tyasno bertugas di Jateng, MT Arifin sempat menjadi staf khusus atau tim ahli; dan ketika bergabung di “Kelompok Kerinci” MT Arifin didhapuk SHW sebagai seorang analis atau pengamat militer.
Sekitar tahun 2003, karena ketidakcocokan internal, MT Arifin memutuskan keluar dari “gank” SHW, dan memilih pulang ke Solo. Surya sempat beberapa kali mewawancarai MT Arifin –yang dikenal sebagai kolektor dan pakar keris setelah tak lagi bekerja untuk SHW— di Solo. Menurutnya, salah satu hal yang membuat dia ‘pecah kongsi dengan SHW’ adalah masalah keris. (dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar